Senin, 25 Agustus 2014
Selasa, 19 Agustus 2014
Bali terkenal sebagai tempat untuk Pre Wedding
![]() |
Pantai Padang - padang, Jimbaran. Bali |
![]() |
Panglipuran, Bangli. Bali |
![]() |
Taman Ujung Karangasem, Karangasem. Bali |
![]() |
Gunung Batur, Bangli. Bali |
Mekare - Kare atau Perang Pandan
![]() | ||||
Perang Pandan, Desa TengananUpacara Mekare - kare (Perang Pandan)
Upacara Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk
menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Perang Pandan
disebut juga mekare-kare. Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap
tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang terletak di 70 km timur Denpasar
Bali lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor, desa ini
masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga. Lokasi
desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti layak
nya sebuah benteng yang hanya mempunyai empat pintu masuk dengan sistim
penjagaan,sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang
dan pergi dari desa tersebut.
Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali
pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau
awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang
mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa
dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya
Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa
Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti
yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.
Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya
diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam,
ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali
melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka,
lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan
Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang
atau pemimpim pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban
jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.
Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan
diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima
pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu
upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Tempat pelaksanaan upacara
Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa.
Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga
menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk
para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat
kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.
Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu
berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan.
Setiap pria (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan
Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu.
Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.
Sebelum Perang Pandan dimulai,diawali dengan ritual upacara
mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum
tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi
seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang
peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan
dibuang kesamping panggung.
Saat upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku Widia pemimpin adat di
Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda
bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di
tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri.
Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.
Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling
menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya
terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan
daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula
megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat.
Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan
dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek
yang lain.
Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan.
Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain,
Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).
Seusai upacara tersebut semua luka gores diobati dengan ramuan
tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan
luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena
mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah
bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa
perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan,
dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski
harus saling melukai dengan duri pandan.
Setelah Perang Pandan selesai kemudian ditutup dengan bersembahyangan
di Pura setempat dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari
Rejang.
Adat istiadat harus kita junjung tinggi karena merupakan citra diri juga melambangkan harga diri akan suatu negeri. Adat istiadat jangan sampai hilang agar orang tahu dari mana kita berasal. Bali pulau dewata menampilkan berbagai macam keindahan. |
Omed - omedan Tradisi Khas Bali
Omed - Omedan Tradisi Bali
Festival Omed-omedan (ciuman massal) di Bali yang unik dan non-pornografi
Masyarakat Bali memiliki beragam tradisi dan kedudayaan yang unik, termasuk Festival Omed-omedan atau ciuman massal. Tidak seperti festival telanjang di dunia,
ciuman massal yang diikuti muda-mudi Bali ini bukanlah aksi pornografi,
melainkan warisan leluhur yang digelar sehari setelah perayaan Hari
Raya Nyepi. Yuk, kita lihat seperti apa Festival Omed-omedan, seperti
yang digelar pemuda-pemudi di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar.
Festival Omed-omedan digelar setiap tahun, sehari setelah perayaan
Hari Raya Nyepi. Tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesehatan bagi
mereka yang ikutserta dalam tradisi ini, juga sebagai penolak bala bagi
desa setempat. Seiring dengan perkembangan zaman, terkadang sebagian peserta
memanfaatkannya sebagai ajang cari jodoh bagi mereka yang masih jomblo. Festival diawali dengan sembahyang bersama di Pura Banjar. Seluruh
peserta wajib mengikuti prosesi ini. Setelah sembahyang, para pemuda dan
pemudi mulai dipisahkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok cowok dan
cewek.
Para pemuka adat, atau tetua desa, bertindak menjadi “wasit” dalam festival ciuman massal
ini. Setelah tetua memberi aba-aba, kedua kelompok cowol dan cewek yang
saling berhadapan akan mengangkat salah seorang wakilnya untuk
dipertemukan dengan wakil dari kelompok lain.
Setelah itu, terjadilah adu mulut yang sesungguhnya. Bukan adu mulut
seperti saling memaki atau perang kata-kata, melainkan mulut beradu
mulut. Biasanya sih, peserta cowok yang paling bernafsu melumat bibir
“lawannya” yang masih malu-malu. Tradisi Omed-omedan sudah berlangsung sejak abad ke-17. Sebelumnya,
festival ini dilakukan pada saat Hari Raya Nyepi. Namun sejak tahun
1978, atau masa Orde Baru, diputuskan untuk menggantinya pada saat
Ngembak Geni, atau sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Festival Omed-omedan diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan
terhadap leluhur. Tanpa disadari, acara ini juga dapat meningkatkan rasa
solidaritas dan kesetiakawanan antarwarga, terutama pemuda dan pemudi.
|
Sabung Ayam (Tajen)
![]() |
Kesenian Khas Bali Sabung Ayam (Tajen)
TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam
yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan
M. Mead dalam karyanya, Balinese Character : A Photographic Analysis
(1942) ; J. Belo “The Balinese Temper ” dalam Traditional Balinese Culture
(1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935) ; dan C.Geertz dan H.
Geertz dalam The Interpretation of Cultures : Selected Essays (1974).
Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun
untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan
simbolis.
Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit. Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini. |
Langganan:
Postingan (Atom)