Selasa, 19 Agustus 2014

Bali terkenal sebagai tempat untuk Pre Wedding

Pantai Padang - padang, Jimbaran. Bali
Panglipuran, Bangli. Bali
Taman Ujung Karangasem, Karangasem. Bali
Gunung Batur, Bangli. Bali


Mekare - Kare atau Perang Pandan

Perang Pandan, Desa Tenganan

Upacara Mekare - kare (Perang Pandan)

Upacara Perang Pandan adalah upacara persembahan yang dilakukan untuk menghormati Dewa Indra (dewa perang) dan para leluhur. Perang Pandan disebut juga mekare-kare. Kegiatan upacara ritual ini diadakan tiap tahun bulan juni di Desa Tenganan, yang terletak di 70 km timur Denpasar Bali lebih kurang 70 menit menggunakan kendaraan bermotor, desa ini masuk salah satu desa tua di Bali, desa ini disebut Bali Aga. Lokasi desa ini dikelilingi bukit, sementara bentuk desa sendiri seperti layak nya sebuah benteng  yang hanya mempunyai empat pintu masuk dengan sistim penjagaan,sehingga lebih memudahkan untuk tahu siapa saja yang datang dan pergi dari desa tersebut.

Kepercayaan yang dianut warga desa Tenganan berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Warga desa Tenganan mempunyai aturan tertulis atau awig-awig yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang mereka,juga tidak mengenal kasta dan diyakini Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan. Sementara Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi.

Konon menurut cerita, pada zaman dahulu kawasan Tenganan dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa yang lalim dan kejam, ia bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan, mendengar itu para dewa di surga pun murka, lalu para dewa mengutus Dewa Indra untuk menyadarkan atau membinasakan Maya Denawa, dengan cara mengangkat Dewa Indra sebagai panglima perang atau pemimpim pertempuran. Melalui pertempuran sengit dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit, akhir nya Maya Denawa dapat kalahkan.

 Upacara Perang Pandan/Mekare kare ini diadakan 2 hari dan diselenggarakan 1 sekali dalam setahun pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) dan merupakan bagian dari upacara Sasih Sembah yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan.Tempat pelaksanaan upacara Mekare-kare ini adalah didepan balai pertemuan yang ada di halaman desa. Waktu pelaksanaan biasanya dimulai jam 2 sore dimana semua warga menggunakan pakaian adat Tenganan (kain tenun Pegringsingan), untuk  para pria hanya menggunakan sarung (kamen), selendang (saput), dan ikat kepala (udeng) tanpa baju, bertelanjang dada.
 
Perlengkapan Perang ini adalah pandan berduri diikat menjadi satu berbentuk sebuah gada, sementara untuk perisai yang terbuat dari rotan. Setiap pria  (mulai naik remaja) didesa ini wajib ikut dalam pelaksanaan Perang Pandan, panggung berukuran sekitar 5 x 5 meter persegi itu. Dengan tinggi sekitar 1 meter, tanpa tali pengaman mengelilingi.

Sebelum Perang Pandan dimulai,diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,lalu diadakan ritual minum tuak, tuak dalam di bambu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Kemudian tuak tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dibuang kesamping panggung.

Saat upacara Perang Pandan akan dimulai, Mangku Widia pemimpin adat di Desa Tenganan memberi aba-aba dengan suaranya, lalu dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman rotan di tangan kiri. Penengah layaknya wasit berdiri di antara dua pemuda ini.

Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain.

Pertandingan ini tidak berlangsung lama. Kurang dari satu menit bahkan. Selesai satu pertandingan langsung disambung pertandingan yang lain, Ini dilakukan bergilir (lebih kurang selama 3 jam).
Seusai upacara tersebut semua luka gores diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit yang konon sangat ampuh untuk menyembuhkan luka. Tidak ada sorot mata sedih bahkan tangisan pada saat itu karena mereka semua melakukannya dengan iklas dan gembira. Tradisi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra, dewa perang yang dihormati dengan darah lewat upacara perang pandan, dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.

Setelah Perang Pandan selesai kemudian ditutup dengan bersembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan mempersembahkan/menghaturkan tari Rejang.

Adat istiadat harus kita junjung tinggi karena merupakan citra diri juga melambangkan harga diri akan suatu negeri. Adat istiadat jangan sampai hilang agar orang tahu dari mana kita berasal. Bali pulau dewata menampilkan berbagai macam keindahan.





Omed - omedan Tradisi Khas Bali

Omed - Omedan Tradisi Bali

Festival Omed-omedan (ciuman massal) di Bali yang unik dan non-pornografi
Masyarakat Bali memiliki beragam tradisi dan kedudayaan yang unik, termasuk Festival Omed-omedan atau ciuman massal. Tidak seperti festival telanjang di dunia, ciuman massal yang diikuti muda-mudi Bali ini bukanlah aksi pornografi, melainkan warisan leluhur yang digelar sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi. Yuk, kita lihat seperti apa Festival Omed-omedan, seperti yang digelar pemuda-pemudi di Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar.

Festival Omed-omedan digelar setiap tahun, sehari setelah perayaan Hari Raya Nyepi. Tujuannya adalah memohon keselamatan dan kesehatan bagi mereka yang ikutserta dalam tradisi ini, juga sebagai penolak bala bagi desa setempat. Seiring dengan perkembangan zaman, terkadang sebagian peserta memanfaatkannya sebagai ajang cari jodoh bagi mereka yang masih jomblo. Festival diawali dengan sembahyang bersama di Pura Banjar. Seluruh peserta wajib mengikuti prosesi ini. Setelah sembahyang, para pemuda dan pemudi mulai dipisahkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok cowok dan cewek.
Para pemuka adat, atau tetua desa, bertindak menjadi “wasit” dalam festival ciuman massal ini. Setelah tetua memberi aba-aba, kedua kelompok cowol dan cewek yang saling berhadapan akan mengangkat salah seorang wakilnya untuk dipertemukan dengan wakil dari kelompok lain.

Setelah itu, terjadilah adu mulut yang sesungguhnya. Bukan adu mulut seperti saling memaki atau perang kata-kata, melainkan mulut beradu mulut. Biasanya sih, peserta cowok  yang paling bernafsu melumat bibir “lawannya” yang masih malu-malu. Tradisi Omed-omedan sudah berlangsung sejak abad ke-17. Sebelumnya, festival ini dilakukan pada saat Hari Raya Nyepi. Namun sejak tahun 1978, atau masa Orde Baru, diputuskan untuk menggantinya pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Hari Raya Nyepi.
Festival Omed-omedan diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur. Tanpa disadari, acara ini juga dapat meningkatkan rasa solidaritas dan kesetiakawanan antarwarga, terutama pemuda dan pemudi.

 


Sabung Ayam (Tajen)


Kesenian Khas Bali Sabung Ayam (Tajen)

 

TAJEN DALAM MASYARAKAT BALI
Beberapa antropolog asing pernah menulis perihal keunikan sabung ayam yang ada pada masyarakat Bali. Di antara mereka adalah G. Bateson dan M. Mead dalam karyanya, Balinese Character : A Photographic Analysis (1942) ; J. Belo “The Balinese Temper ” dalam Traditional Balinese Culture (1970), aslinya diterbitkan pada tahun 1935) ; dan C.Geertz dan H. Geertz dalam The Interpretation of Cultures : Selected Essays (1974). Bagi mereka sabung ayam yang berfungsi sebagai tabuh rah semata maupun untuk memenuhi fungsi sekuler lainnya adalah kenyataan kultural dan simbolis.

Sebagai sesuatu yang simbolis, sekalipun yang bertarung hanya jago-jago (siap), tetapi sesungguhnya yang bertarung di sana adalah manusia-manusia dengan segala lelucon, pembicaraan yang dangkal, dan pelepasan berbagai ketegangan. Di dalamnya terjadi permainan dan penyaluran kekerasan, relasi kekuasaan dan perayaan hasrat akan kemenangan, dan berbagai bentuk histeria yang tidak mungkin disalurkan dalam dunia kehidupan norma dan nilai. Malahan Bateson dan Mead menyatakan paralel dengan konsep orang Bali tentang tubuh sebagai seperangkat bagian-bagian berjiwa dan terpisah-pisah, jago dianggap sebagai zakar yang dapat ditanggalkan, yang dapat bergerak sendiri sebagai alat kelamin yang berjalan-jalan, dan hidup. Geertz malahan menyatakan lebih tegas bahwa jago adalah simbol kejantanan par excellence, ibarat kepastian bahwa air mengalir menuruni bukit.

Kedekatan orang Bali dengan sabung ayam (tajen) atau keakraban orang Bali dengan jago-jago mereka lebih daripada sekadar metaforis. Sebagian besar orang Bali menghabiskan waktu mereka untuk merawat, memberi makan, membicarakan akan ketangguhan, mencoba satu sama lain, dan menatap jago mereka dengan kekaguman dan lamunan mengasyikan serta menerawang penuh harap. Sang jago diperlakukan secara khusus, baik berkaitan dengan makan, cara memandikan, dan memelihara bulu-bulu mereka. Seorang laki-laki yang keranjingan jago, seorang yang antusias dalam arti harfiah, dapat menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk jago-jago itu. Malahan menghabiskan tidak hanya sesuatu yang tampak bagi orang luar, melainkan juga bagi diri mereka sendiri, sejumlah besar waktu untuk jago-jago itu. Demikian antusiasnya gambaran orang Bali terhadap jagonya, sebagaimana diungkapkan Geertz sehingga kita tidak sadar juga telah terbius keantusiasan memegang jago kita masing-masing dalam kesempatan ini.